Tuesday, November 16, 2010
Wahai langit tempat bintang bernaung, malam ini aku menatapmu dengan dada penuh gemuruh. Tak tahu apa yang menyerangku, yang pasti dadaku rasanya penuh. Seperti ingin menangis, tapi tak tahu pasti kenapa aku harus menangis. Mungkinkah ini masih tentang dia, yang meninggalkanku?
Aneh, walau bintang bertebaran di langitmu, bintang yang berhasil memandu nelayan di tengah lautan, tapi tak satu pun mampu menyelamatkan aku dari ketersesatanku tanpa dia yang masih kurindu, tidak juga bintangmu.
Hhhh, mengingat dia saja membuat nafasku sesak, hingga merasa perlu menarik lebih banyak udara untuk bertahan. Setelah sekian lama, nyatanya dia masih tetap memenuhi atmosferku dengan memori, yang seringnya menyiksa. Dan percayalah, siksanya jauh lebih buruk dari sesakku saat mendengar namanya. Maksudku, jika namanya saja masih membuat udara di sekitarku terasa menipis, bagaimana dengan helai-helai kenangan yang berterbangan di sekitarku. Kau takkan mau tahu rasanya.
Entahlah, apakah berbicara padamu, langit, seperti ini, akan membantu meringankan berat yang menggelayutiku. Kau tak pernah tahu rasanya ditinggalkan semua bintangmu, sendirian, hingga menyisakanmu bersama gelap saja. Bisakah kau bayangkan itu wahai langit, bayangkan perihnya sendirian. Dan jika membayangkannya sudah membuatmu hampir menitikkan air mata, sekarang bayangkan aku, yang telah terlanjur ditinggalkan, yang terlanjur dibiarkan sendirian, gelap tak berkawan.
Duh, kenapa bercerita seperti ini membuat beratku yang tadinya bertumpuk di dada serasa pindah ke tenggorokan, dan sebagian seperti memaksa merembes dari kelopak mataku. Sungguh, aku lelah menangis, walau sepertinya memang tak ada yang lain yang bisa kulakukan selain menangis.
Langit, dari atas sana, apakah pandanganmu lebih luas dari aku? Ah, untuk apa aku bertanya pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Aku sesungguhnya hanya ingin tahu, apakah kau melihatnya saat ini? Ingin tahu di mana dia saat ini, apa yang sedang dilakukannya, dan apakah saat ini ia juga sedang menatapmu, berbicara padamu tentang aku, seperti aku berbicara tentang dia.
Sesungguhnya begitu besar keinginanku untuk meneriakkan rindu di langitmu, sambil diam-diam berharap kau menggemakanya, lalu gemanya menyusup ke telinganya, lalu menyelinap ke dadanya, hingga ia benar-benar merasakan rinduku. Tapi rasanya terlalu banyak yang sudah kutumpahkan kepadamu, hingga aku sungkan merepotkanmu. Maka langit, aku hanya ingin kau menjaganya dengan pelukanmu, dampingi ia dalam bahagia maupun dukanya. Dan jika suatu hari, engkau berkenan, mintalah pada bintangmu untuk menunjukkannya jalan menuju aku. Dan pada hari itu, aku akan tetap di sini, duduk menatapmu, sambil menunggu.
*****
Ah ya, hampir saja aku lupa, terima kasih langit.
Peluk dan kecup untukmu. Selamat malam!
(Tulisan ini bukan punyaku, tapi apa yg tersirat dalam tulisan ini adalah sama persis seperti apa yg sedang aku rasakan sekarang.)
0 komentar:
Posting Komentar